Part 3: Surat yang Tak Pernah Dikirim
Kisah Ikhlas - Part 3: Surat yang Tak Pernah Dikirim
Malam itu, angin berhembus lembut menembus jendela kamar. Di atas meja, sebuah buku tulis terbuka. Nisa menggenggam pulpen, menatap halaman kosong yang lama tak tersentuh. Ada yang ingin ia tulis, tapi tak tahu harus dimulai dari mana.
Lalu, tanpa sadar tangannya mulai bergerak. “Mas Arif...,” ia menulis pelan. “Sudah seminggu lebih sejak kepergianmu. Aku masih duduk di sudut ini, tempat di mana kita biasa berbagi cerita sebelum tidur.”
Ia tak menulis untuk dibaca siapa pun. Ia menulis untuk mengobrol dengan sosok yang kini hanya tinggal dalam ingatan. Setiap kalimat adalah bentuk rindu yang tak bisa ia ucapkan dengan suara.
“Hari ini aku tertawa, Mas,” lanjutnya. “Bukan karena aku lupa, tapi karena aku tahu, kamu tidak ingin aku terus bersedih. Aku mencoba, sungguh. Meski kadang rasanya seperti bernafas dalam air.”
Air mata jatuh, namun kali ini tidak menyakitkan. Tangis itu terasa seperti doa, seperti izin dari hatinya sendiri untuk perlahan menerima kenyataan.
Di akhir suratnya, Nisa menulis: “Kalau takdir menahan kita untuk bertemu di dunia ini, semoga Allah pertemukan kita kelak dalam syurga-Nya. Aku akan menjaga diriku, menjaga harapan kita, dengan ikhlas.”
Ia melipat surat itu perlahan, lalu menyelipkannya ke dalam kotak kayu di bawah tempat tidur. Kotak kenangan. Tempat ia menyimpan bukan hanya barang, tapi juga bagian jiwanya.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Nisa tertidur tanpa rasa sesak di dada. Bukan karena kehilangan itu hilang, tapi karena ia tahu: ia tidak sendirian dalam luka. Allah selalu bersamanya.