Kisah Ikhlas - Part 2: Langkah Pertama Tanpa Arif
Kisah Ikhlas - Part 2: Langkah Pertama Tanpa Arif
Pagi itu, langit tampak teduh. Nisa berdiri di depan cermin, mengikat kerudungnya dengan perlahan. Tidak ada lagi yang menunggu di ruang tamu sambil menggodanya seperti dulu. Hanya keheningan yang menemaninya bersiap memulai hari.
Langkahnya terasa berat saat menuju kios. Tapi ia tahu, diam terlalu lama di rumah hanya akan menjebaknya dalam duka. Ia harus berdamai, bukan dengan kematian Arif, tapi dengan harapannya yang tak akan lagi terwujud.
Sesampainya di kios, seorang pelanggan lama datang. “Nisa, kue cucurnya masih ada?” tanya ibu Rini. Senyum Nisa muncul lirih, “Masih, Bu. Tapi sekarang saya sendiri...”
Ibu Rini hanya mengangguk pelan. Tatapan matanya penuh empati. “Kamu kuat, ya. Arif pasti bangga melihat kamu terus berusaha.” Kalimat itu mengalir seperti pelukan. Tidak menghapus luka, tapi menghangatkannya sesaat.
Setiap barang yang ia sentuh di kios mengingatkan pada tangan Arif. Namun hari itu, Nisa tidak menangis. Ia hanya diam, membiarkan kenangan itu hadir lalu pergi, seperti angin yang bertiup pelan.
Menjelang siang, ia duduk sebentar di bangku plastik usang. “Kalau dulu, Mas yang ngingetin aku makan,” gumamnya. Lalu ia tersenyum, seolah mendengar suara Arif mengomel lembut dari balik kenangan.
Ikhlas, ternyata bukan tentang membuang masa lalu. Tapi menjadikan masa lalu sebagai kekuatan untuk berdiri lebih tegak. Nisa mulai merasakannya. Meski perih, ada kedamaian tipis yang menyusup perlahan.
Hari itu, untuk pertama kalinya sejak kepergian Arif, Nisa menutup kios dengan rasa syukur. Ia belum sembuh, belum selesai. Tapi ia telah mulai melangkah. Dan itulah awal dari keikhlasan yang sejati.