Kisah Ikhlas - Part
Kisah Ikhlas - Part 1: Bayangan di Ujung Subuh
Subuh masih menggantung di langit, ketika Nisa menyandarkan tubuhnya pada dinding kayu rumahnya yang dingin. Matanya sembab, namun tak ada air mata lagi yang tersisa. Ia baru saja ditinggal pergi oleh seseorang yang paling dicintainya: sang suami, Arif, yang meninggal dunia secara mendadak seminggu lalu.
“Apa arti ikhlas itu, Ya Allah?” bisiknya lirih. “Jika menerima takdir terasa begitu menyakitkan?”
Rumah kecil di pinggiran kota itu kini terasa sangat luas dan sunyi. Tak ada lagi suara gelak tawa Arif yang biasa memecah pagi dengan humor receh, tak ada lagi kopi panas yang diseduh untuknya, tak ada lagi rencana sederhana tentang masa depan mereka. Semua hilang... begitu cepat.
Namun hidup harus terus berjalan. Hari ini, Nisa memutuskan kembali ke kios kecil tempatnya menjual kue dan camilan. Ia tahu, diam dalam kesedihan bukan cara terbaik untuk menghormati kenangan.
Di jalanan, banyak yang menyapanya. Tapi sebagian hanya tersenyum iba. Beberapa menanyakan kabar, sebagian menasihati tentang \"ikhlas\". Namun tidak satu pun dari mereka yang benar-benar mengerti bagaimana rasanya kehilangan setengah jiwa.
Saat membuka pintu kios, kenangan menamparnya. Dulu Arif selalu membantu membenahi meja dan menata kue. Kini, meja itu kosong. Tapi di situlah, pelajaran pertama tentang ikhlas perlahan dimulai.
Nisa mulai menyadari, ikhlas bukan tentang melupakan. Tapi tentang belajar mencintai kenangan, tanpa membiarkannya melumpuhkan langkah. Ia menatap langit yang mulai terang dan berbisik, \"Aku akan terus berjalan, Mas... Dengan segala luka, aku akan belajar ikhlas.\"